Karena Ulama Tidak Satu Kata
*Miko Kamal

Group WA masjid jadi ajang perang; yang mendukung masjid ditutup dan yang mendukung masjid segera dibuka untuk shalat 5 waktu berlomba mengirim artikel dan video. Faktanya, di ruang publik, kita memang menemui ulama (setidaknya penceramah) yang berbeda pendapat terkait kebijakan menutup masjid disaat wabah menyerang. Ulama yang tergabung dalam lembaga resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ulama non-MUI. Kedua kelompok ini punya dalilnya masing-masing.
Puncaknya, musyawarah jamaah dan pengurus harus digelar. Musyawarah dilaksanakan pada Ahad tanggal 12 April 2020. Tempatnya di masjid. Mulai pukul 13.00 - 14.45. Rapat mengikuti protokol kesehatan yang disarankan WHO. Berjarak dan memakai masker.
Perdebatan sengit terjadi dalam musyawarah. Kedu kubu kukuh dengan pendapat mereka masing-masing. Semua dalil tumpah di teras masjid sore itu. Sebagai ketua saya menyampaikan bahwa pada intinya, kami pengurus menjalankan kebijakan lockdown masjid karena sayang kepada para jamaah. Terutama jamaah yang berusia lanjut (di atas usia 70 tahun).
Mendengar pernyataan saya, jamaah tua yang hadir meradang. Katanya: "Ketua tidak usah memikirkan kami. Biarlah kami mati. Yang penting kami bisa beribadah di masjid. Semua risiko menjadi tanggung jawab kami. Tidak ada yang perlu disesalkan kalau hal buruk terjadi kepada kami".
"Kami sudah tahu semua dalil-dalil yang ketua sampaikan. Sekarang, begini saja. Kalau ketua tidak mau membuka masjid, kami akan cari masjid lain yang banyak buka di sekitar kita", tambah mereka.
Keras benar mereka. Saya kaget. Saya terpaksa mengambil keputusan moderat. Keputusannya, pengurus tetap tidak pernah menyelenggarakan shalat berjamaah 5 waktu. Tapi gembok pagar masjid dibuka. Unlock. Jika ada warga yang datang ke masjid menyelenggarakan shalat 5 waktu, itu diluar kewenangan dan diluar tanggung jawab pengurus. Azan tetap dikumandangkan seperti biasa dengan menambahkan lafadz azan "shalatlah di rumah kalian" (terjemahan bahasa Indonesianya).
Rapat berakhir. Kedua kubu cukup senang, saya lihat. Dalam perjalan pulang ke rumah saya berpikir keras. Mengapa ini terjadi di mesjid tengah kota. Masjid yang sebagian besar jamaahnya adalah orang-orang yang secara kalkulatif bisa berpikiran jernih dalam bertindak. Jika hal serupa ininterjadi di kampung saya, tidak sekeras ini saya berpikir.
Akhirnya saya dapat jawaban. Mungkin jawaban sementara. Yaitu, tidak satu katanya ulama menyikapi cara beribadah pada saat wabah seperti sekarang. Keadaan ini diperparah lagi dengan keamburadulan pemerintah menyikapi keadaan. Pemerintah pusat tidak sejalan dengan pemerintah daerah (diwakili pemerintah DKI) dalam menyikapi keadaan. Yang satu berjalan ke hilir, satunya lagi mengarah ke mudik. Keamburadulan itu ditransmisikan sampai ke kamar-kamar tidur warga.
Rakyat kehilangan pegangan. Biasanya hanya umara dan ulama saja yang bersitegang. Sekarang, sesama ulama juga tarik menarik urat leher. Akibatnya, seperti yang di MJP. Rakyat kehilangan tempat berpegang. Tidak ada yang bisa dipercaya. Low trust society semakin mewujud nyata. Rekonsiliasi ulama obatnya. Insyaallah mujarab. (*)
*Ketua MJP, Padang
Opini Terkait
- Musfi Yendra: Informasi Serta-Merta dalam Konteks Demonstrasi
- Musfi Yendra: HUT ke-80 RI: Refleksi Keterbukaan Informasi
- Musfi Yendra: Abolisi dan Amnesti dalam Perspektif Keterbukaan Informasi
- Musfi Yendra: Informasi sebagai Hak Asasi Manusia
- Musfi Yendra: Keteladanan Keterbukaan Informasi dari Masjid