Asal Mula Keterbukaan Informasi di Dunia

*Musfi Yandra

Rabu, 16 April 2025 | Opini
Asal Mula Keterbukaan Informasi di Dunia
Musfi Yandra

KETERBUKAAN informasi merupakan salah satu fondasi dasar dalam menciptakan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Konsep ini menekankan pentingnya akses publik terhadap informasi yang dimiliki oleh pemerintah atau lembaga publik. Dengan adanya keterbukaan informasi, masyarakat dapat memahami kebijakan, program, serta keputusan pemerintah yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.


Selain itu, transparansi informasi juga berperan penting dalam mencegah praktik korupsi, meningkatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Menurut laporan dari Transparency International, negara-negara dengan tingkat keterbukaan informasi yang tinggi cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah, menunjukkan hubungan langsung antara transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Sejarah keterbukaan informasi di dunia telah melalui perjalanan panjang, dimulai dari era Pencerahan di Eropa, kemudian berkembang dengan berbagai kebijakan hukum di berbagai negara, hingga akhirnya memasuki era digital yang memungkinkan akses informasi menjadi lebih luas dan cepat. Pada abad ke-18, gagasan tentang keterbukaan informasi mulai muncul, dengan Swedia menjadi negara pertama yang menerapkan undang-undang kebebasan informasi melalui Freedom of the Press Act pada tahun 1766.

Undang-undang ini memberikan hak kepada warga negara untuk mengakses dokumen pemerintahan, yang pada saat itu merupakan langkah revolusioner karena sebagian besar negara masih menerapkan sistem pemerintahan yang tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi bukanlah hal baru, melainkan telah menjadi bagian dari perjuangan panjang untuk hak asasi manusia.

Langkah Swedia ini kemudian menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk mulai mempertimbangkan transparansi dalam pemerintahan mereka. Pada tahun 1789, Revolusi Perancis juga membawa gagasan keterbukaan informasi dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, yang menekankan bahwa akses terhadap informasi merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap individu.

Prinsip ini mencerminkan semangat revolusi yang menuntut pemerintahan yang lebih terbuka dan akuntabel. Dalam konteks ini, keterbukaan informasi tidak hanya dilihat sebagai hak, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan masyarakat dalam mengawasi tindakan pemerintah.

Pada abad ke-19, perhatian terhadap keterbukaan informasi mulai meningkat di beberapa negara, terutama yang sedang mengalami perubahan politik dan sosial. Namun, banyak pemerintahan pada masa itu masih bersifat tertutup, dengan akses terhadap informasi yang sangat terbatas bagi masyarakat umum. Pemerintah cenderung merahasiakan banyak informasi, terutama yang berkaitan dengan kebijakan internal, pertahanan, dan keputusan ekonomi.

Hal ini mulai berubah pada abad ke-20, ketika banyak negara menyadari bahwa keterbukaan informasi adalah kunci bagi pemerintahan yang stabil dan demokratis. Menurut The World Bank, negara-negara yang menerapkan kebijakan keterbukaan informasi cenderung memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi.

Setelah Perang Dunia II, kesadaran akan pentingnya keterbukaan informasi semakin meningkat, terutama dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1946, PBB melalui Resolusi Majelis Umum No. 59 menyatakan bahwa kebebasan informasi adalah hak asasi manusia yang fundamental. Pernyataan ini memperkuat gagasan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab dalam memberikan akses informasi kepada masyarakat.

Dalam konteks ini, keterbukaan informasi menjadi bagian integral dari upaya global untuk melindungi hak asasi manusia dan mendorong demokrasi.

Salah satu langkah konkret yang diambil dalam mendukung keterbukaan informasi adalah disahkannya Freedom of Information Act (FOIA) di Amerika Serikat pada tahun 1966. FOIA memberikan hak kepada warga negara untuk meminta dan memperoleh dokumen dari badan pemerintah federal, kecuali dalam kasus tertentu yang berkaitan dengan keamanan nasional dan data sensitif lainnya.

Undang-undang ini menjadi model bagi banyak negara lain yang kemudian mengadopsi kebijakan serupa. Misalnya, Kanada dan Australia juga mengesahkan undang-undang keterbukaan informasi mereka masing-masing pada tahun 1982, menandai awal dari tren global menuju pemerintahan yang lebih transparan.

Meskipun demikian, penerapan undang-undang ini masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk resistensi dari birokrasi dan keterbatasan dalam mekanisme pelaksanaannya. Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, keterbukaan informasi semakin berkembang pesat, terutama di negara-negara yang sedang mengalami demokratisasi. Di banyak negara di Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia, gerakan menuju transparansi pemerintahan mulai mendapatkan momentum.

Indonesia, misalnya, mulai menyusun Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada tahun 2002 sebagai bagian dari reformasi setelah tumbangnya rezim Orde Baru. UU KIP akhirnya disahkan pada tahun 2008 melalui UU No. 14 Tahun 2008. Undang-undang ini mewajibkan badan publik untuk memberikan akses informasi kepada masyarakat, kecuali informasi yang dikecualikan seperti yang berkaitan dengan keamanan nasional, privasi individu, dan informasi rahasia negara. Kehadiran UU KIP di Indonesia menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi di negara ini, karena memberikan dasar hukum yang jelas mengenai hak publik untuk mendapatkan informasi dari pemerintah.

Selain Indonesia, banyak negara lain juga mengadopsi undang-undang keterbukaan informasi, termasuk India, Meksiko, Afrika Selatan, dan Brasil. India, misalnya, mengesahkan Right to Information Act pada tahun 2005, yang memberikan hak akses informasi kepada warga negara dan mewajibkan pemerintah untuk secara proaktif menyediakan informasi yang relevan bagi masyarakat.

Penerapan undang-undang ini membantu meningkatkan transparansi dan mengurangi praktik korupsi di berbagai sektor pemerintahan. Menurut laporan dari Open Government Partnership, negara-negara yang menerapkan undang-undang keterbukaan informasi mengalami peningkatan signifikan dalam partisipasi publik dan kepercayaan terhadap pemerintah.

Memasuki era digital, keterbukaan informasi mengalami perubahan yang sangat signifikan. Internet dan media sosial memungkinkan akses informasi yang lebih luas dan cepat dibandingkan dengan era sebelumnya. Berbagai platform digital kini digunakan untuk menyebarkan informasi pemerintahan, termasuk portal data terbuka, situs web resmi pemerintah, serta aplikasi layanan publik.

Di banyak negara, pemerintah mulai mengembangkan Open Data Initiative, yaitu inisiatif untuk menyediakan data pemerintahan secara terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat dalam format digital. Data ini mencakup informasi mengenai anggaran negara, proyek pembangunan, statistik ekonomi, hingga kebijakan kesehatan dan pendidikan. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga mendorong inovasi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.

Namun, di balik kemajuan ini, muncul pula berbagai tantangan baru. Salah satunya adalah maraknya disinformasi dan hoaks yang dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial. Selain itu, isu keamanan data dan privasi juga menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan kebocoran informasi sensitif yang dapat membahayakan individu atau negara. Untuk mengatasi tantangan ini, banyak negara mulai memperkuat regulasi terkait keamanan data dan etika dalam penyebaran informasi. Beberapa regulasi seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa telah diterapkan untuk memastikan bahwa data pribadi masyarakat terlindungi dengan baik.

Keterbukaan informasi terus berkembang dengan berbagai inisiatif global yang mendukung transparansi pemerintahan. Salah satu inisiatif yang paling berpengaruh adalah Open Government Partnership (OGP), yang didirikan pada tahun 2011 untuk mendorong transparansi, partisipasi publik, dan inovasi dalam pemerintahan.

Lebih dari 70 negara telah bergabung dalam OGP, dan masing-masing negara berkomitmen untuk meningkatkan keterbukaan informasi serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Inisiatif ini menunjukkan bahwa keterbukaan informasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil.

Di masa depan, keterbukaan informasi diperkirakan akan terus berkembang dengan dukungan teknologi digital. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan blockchain dalam penyimpanan dan distribusi informasi pemerintahan dapat membantu meningkatkan transparansi sekaligus menjaga keamanan data. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta juga akan memainkan peran penting dalam memastikan bahwa keterbukaan informasi dapat berjalan dengan efektif dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dengan semakin banyaknya negara yang mengadopsi kebijakan keterbukaan informasi, diharapkan transparansi dan partisipasi publik dalam pemerintahan semakin meningkat.

Sejarah keterbukaan informasi di dunia menunjukkan bahwa akses terhadap informasi merupakan elemen fundamental dalam pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Sejak Swedia menjadi pelopor dengan undang-undang kebebasan informasi pada abad ke-18 hingga era digital saat ini, perkembangan keterbukaan informasi terus dipengaruhi oleh dinamika sosial, inovasi teknologi, serta perubahan politik. Dengan semakin banyaknya negara yang mengadopsi kebijakan keterbukaan informasi, diharapkan transparansi pemerintahan semakin meningkat, diikuti dengan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. (*)

*Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Marhaban ya Ramadhan 2025
Bagikan:
Ketua KI Sumbar

Makna Informasi Menurut Al-Qur'an

Opini - 18 April 2025

Oleh: Musfi Yendra

Hj. Nevi Zuairina
Musfi Yendra

Penyelesaian Sengketa Informasi Publik

Opini - 21 Maret 2025

Oleh: Musfi Yendra

Ibnu Sectio Caisaria, Havina Mirsya 'Afra

Menyoal Nagari Creative Hub Ala Mahyeldi-Vasko

Opini - 20 Maret 2025

Oleh: Ibnu Sectio Caisaria, Havina Mirsya 'Afra