UU KIP Tameng Kepala Daerah Hadapi Patologi Birokrasi

*Musfi Yendra

Rabu, 11 Juni 2025 | Opini
UU KIP Tameng Kepala Daerah Hadapi Patologi Birokrasi
Musfi Yendra

Patologi birokrasi adalah tantangan laten yang terus menggerogoti efektivitas pemerintahan. Dalam menjalankan tugas dan fungsi, kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati dan Walikota kerap berhadapan dengan patologi birokrasi ini. Istilah patologi birokrasi merujuk pada penyimpangan perilaku birokrat dari prinsip ideal pelayanan publik, seperti tertutup terhadap informasi, resistensi terhadap inovasi, hingga praktik korupsi yang sistemik.

Ironisnya, di banyak kasus, kepala daerah justru menjadi korban atau tertuduh utama atas kegagalan birokrasi, meski akar masalahnya sering bersumber dari ketertutupan dan lemahnya akuntabilitas di tingkat aparatur.

Di sinilah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memainkan peran strategis. UU ini bukan sekadar menjamin hak masyarakat atas informasi, tetapi juga dapat digunakan sebagai instrumen kepala daerah untuk membentengi diri dari jebakan penyakit birokrasi. Keterbukaan informasi bukan hanya soal pemenuhan hak publik, tetapi juga menjadi strategi membangun tata kelola pemerintahan yang lebih bersih, transparan, dan akuntabel.

Pasal 7 UU KIP secara tegas mewajibkan setiap badan publik untuk menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya, kecuali informasi yang dikecualikan secara hukum. Bagi kepala daerah, ketentuan ini menjadi dasar kuat untuk menuntut seluruh perangkat kerja di lingkungan pemerintah daerah agar bersikap terbuka.

Keterbukaan ini bukan pilihan, melainkan mandat hukum. Dalam konteks birokrasi, ini menjadi tekanan positif yang mampu mendisiplinkan aparatur untuk tidak menyimpan informasi secara sepihak dan sewenang-wenang.

Lebih lanjut, UU KIP mengatur pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik. PPID berfungsi sebagai ujung tombak pelayanan informasi kepada masyarakat. Ia bukan sekadar lembaga administratif, melainkan struktur penting yang memungkinkan informasi dapat diakses publik secara sistematis.

Dengan adanya PPID yang efektif, kepala daerah dapat menghindarkan diri dari tuduhan tidak transparan karena semua proses dokumentasi dan pelayanan informasi dilakukan oleh struktur resmi yang dapat diawasi. Jika informasi tidak disampaikan atau terjadi sengketa informasi, tanggung jawab tidak lagi ditimpakan langsung pada kepala daerah, melainkan dapat dilacak secara kelembagaan.

Beberapa kepala daerah kerap terperangkap dalam persoalan hukum atau kehilangan kepercayaan publik karena ketertutupan informasi di level satuan kerja. Misalnya, dalam kasus pengadaan barang dan jasa, kepala daerah bisa dituding tidak transparan jika dokumen tender, anggaran, atau laporan pelaksanaan tidak dipublikasikan.

Padahal, bila informasi tersebut telah tersedia dan dapat diakses publik, peluang terjadinya penyimpangan akan jauh berkurang. Di sini, UU KIP menjadi pelindung yang sah: kepala daerah yang konsisten menjalankan prinsip keterbukaan memiliki bukti hukum dan administratif bahwa dirinya telah bekerja secara transparan.

Dalam hubungan kepala daerah dengan legislatif daerah, keterbukaan informasi juga memiliki fungsi strategis. Ketika dokumen perencanaan, kebijakan anggaran, dan laporan kinerja disampaikan secara terbuka kepada publik, maka relasi antara eksekutif dan legislatif menjadi lebih berimbang.

UU KIP juga mendukung posisi kepala daerah dalam membangun hubungan yang sehat dengan masyarakat. Pasal 3 menyebutkan bahwa keterbukaan informasi bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Ketika informasi terkait program pembangunan, penggunaan anggaran, dan capaian kerja dibuka kepada publik, masyarakat tidak hanya menjadi penonton, melainkan ikut serta mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah.

Halaman:

*Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Bagikan: