Nyaris Gulung Tikar di saat Pandemi, Anasrizal Tetap Jaga Eksistensi Konveksi Tas Baceno

Untuk itu, ia pun mulai menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya di pertengahan 1998, tabungannya pun mencapai Rp175 ribu. Uang sebesar itu, kata Anas, nilainya cukup besar ketika dan cukup untuk memulai usaha konveksi dengan skala kecil.
Anas kemudian menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi.
Selain digunakan untuk menyewa rumah kontrakan, sebagian uang itu juga dipergunakan untuk membeli bahan baku pembuatan tas seperti terpal. "Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak saya. Untuk tipe mesinnya masih "dangdut", yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki," ungkapnya.
Baca juga: PMI Berharap PT Semen Padang jadi Role Model bagi Perusahaan Lain
Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus, diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya. "Pemilik toko gak mau beli tas saya. Katanya sudah punya langganan konveksi," ungkapnya.
Kendati semua toko tas menolak, Anas tak langsung menyerah begitu saja. Saban hari, dia pun terus mendatangi satu persatu toko tas yang ada di kawasan Pasar Raya Padang. Namun sayangnya, hasilnya di luar dugaan. Sejumlah toko dari langganan kakaknya juga ikut menolak untuk membeli tas yang diproduksinya.
Anas pun kembali mendatangi beberapa toko tas di Pasar Raya Padang. Namun untuk kedatangan kali itu, katanya, harga tas yang ditawarkan kepada pihak toko jauh di bawah harga normal. "Saya tawarkan satu lusin itu Rp50 ribu, dan ada lima lusin yang saya punya. Ternyata ada yang berminat," ungkapnya.
"Dari Rp50 ribu per lusin, saya dapat Rp2000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung. Hal itu terpaksa saya lakukan agar tas terjual, karena saya juga butuh uang untuk biaya makan keluarga," ungkap bapak tujuh orang anak itu mengenang. Setelah semua tas habis dijual, dia pun pulang ke rumah dengan langkah lunglai.
Anas menyebut, sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, dirinya terus merenungkan nasib yang tak kunjung berubah, meskipun sudah memulai usaha konveksi sendiri. Setiba di rumah, ia pun mengatakan kepada istrinya untuk kembali bekerja di tempat usaha konveksi kakaknya. Karena, merintis usaha sendiri itu sagat susah dan butuh perjuangan yang begitu sulit dilalui.
Namun, istrinya menolak dan meminta dirinya untuk terus berusaha lebih keras lagi. Tak hanya itu, istrinya juga marah mendengar adanya keinginan untuk kembali menjadi anak buah di tempat konveksi, meskipun konveksi tersebut miik kakaknya.
"Mendengar saya ingin kembali jadi anak buah kakak saya, istri saya marah dan bilang, 'Bapak harus semangat, karena anak-anak sudah mulai besar. Kita harus bangkit pak. Biaya kebutuhan besar dan kita harus maju pak'. Mendengar yang disampaikan istri saya, saya pun bangkit. Apalagi ketika itu, istri saya juga ikut membantu mencarikan langganan tas di Pasar Raya Padang," katanya.
Penulis: Imel
Editor: BiNews
Berita Terkait
- Kota Padang Perkuat Ekonomi Kreatif Lewat Bimtek Branding Digitalisasi
- Permudah Akses Perbankan untuk UMKM, Pemko Padang Bersinergi dengan CIMB Niaga
- Evaluasi untuk Adinata Syariah 2025, Gubernur Mahyeldi Targetkan Sumbar Kembali Raih Juara Umum
- OJK: Likuiditas Perbankan 2025 Masih Ketat, Sektor Pertanian Perlu Digenjot
- Wakil Ketua DPRD Sumbar Iqra Chissa Inisiasi Pemprov dan Pertamaina Terkait Stabilisasi Stok BBM