Prof Djohermansyah Djohan Sebut Otonomi Daerah Merana Didera Korupsi Sistemik

Minggu, 09 November 2025, 12:51 WIB | Pemerintahan | Nasional
Prof Djohermansyah Djohan Sebut Otonomi Daerah Merana Didera Korupsi Sistemik
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang juga pakar Otonomi Daerah (Otda), Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA,

JAKARTA, binews.id -- Sudah lebih dari dua dekade otonomi daerah dijalankan di Indonesia. Tujuannya jelas: mendekatkan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, dan menghadirkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Namun realitas di lapangan menunjukkan arah sebaliknya — otonomi justru membuka celah baru bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat lokal yang dilakukan oleh elit politik lokalnya sendiri.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), yang juga pakar Otonomi Daerah (Otda), Prof DrDjohermansyah Djohan,MA, menilai persoalan ini bukan sekadar perilaku oknum kepala daerah, melainkan sudah menjadi masalah sistemik dalam desain demokrasi lokal kita.

"Sejak Pilkada Serentak Nasional pertama 1 Juni 2005 hingga kini, sudah 462 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Ini bukan angka kecil. Ini menandakan kegagalan sistem Pilkada kita dalam melahirkan pemimpin yang kompeten dan berintegritas," tegas Prof Djohermansyah, Minggu (9/11/2025).

Politik Biaya Tinggi, Akar Segala Korupsi

Menurut Prof Djohermansyah, penyebab utama korupsi di daerah bersumber dari politik biaya tinggi. Untuk memenangkan satu kontestasi Pilkada, seorang calon bupati atau walikota harus menyiapkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara calon gubernur bisa menghabiskan lebih dari seratus miliar.

"Di negara demokrasi maju, dana kampanye dikumpulkan melalui fundraising publik. Tapi di Indonesia, sistemnya dibayar oleh cukong. Pemilih bukan menyumbang, malah minta dibayar. Inilah demokrasi yang masih sangat kapitalistik dan belum matang," jelasnya.

Kondisi ini membuat kepala daerah yang terpilih cenderung berupaya mengembalikan modal politiknya ketika menjabat, dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki. Korupsi pun menjadi konsekuensi yang sistemik, bukan sekadar penyimpangan individu.

Jual-Beli Jabatan: Korupsi Gaya Baru

Fenomena baru yang mencuat sejak 2016 adalah jual-beli jabatan. Setelah memenangkan Pilkada, kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) memiliki kewenangan mengangkat, memutasi, dan memberhentikan ASN di wilayahnya. Di sinilah ruang transaksional terbuka lebar.

"Pasarnya sudah jelas: kepala dinas pendidikan sekian miliar, dinas PU sekian miliar, kesehatan sekian miliar harganya. Kepala daerah beralasan, 'saya maju keluar ongkos mahal, masa kamu tidak bayar'. Ini nalar yang rusak, tapi sudah menjadi praktik lazim di banyak daerah," ungkapnya.

Dampaknya fatal. ASN yang berintegritas, menolak kompromi dan tetap berpegang pada meritokrasi, justru terpinggirkan. Birokrasi daerah kehilangan profesionalisme, karena jabatan bukan lagi hasil prestasi, melainkan transaksi.

Halaman:

Penulis: Imel
Editor: Imel

Bagikan: